Selamat Datang

Selamat Datang di blog yang saya buat Mohon maaf bila banyak terdapat kekurangan

Selasa, 18 Januari 2011

7 HAL YANG MENGHARAMKAN WANITA JADI PEMIMPIN

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa syariat tidak memperbolehkan wanita menjadi pemimpin:
Alasan Pertama: Pemimpin wanita pasti merugikan

Alasan Pertama: Pemimpin wanita pasti merugikan
Abu Bakrah berkata,
لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ –‏‎ ‎صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ‏‎ ‎فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ‏‎ ‎بِنْتَ كِسْرَى قَالَ » لَنْ‏‎ ‎يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا‎ ‎أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ” Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”.” (HR. Bukhari no. 4425)
Dari hadits ini, para ulama bersepakat bahwa syarat al imam al a’zhom (kepala negara atau presiden) haruslah laki-laki. (Lihat Adhwa ’ul Bayan, 3/34, Asy Syamilah)
Al Baghowiy mengatakan dalam Syarhus Sunnah (10/77) pada Bab ”Terlarangnya Wanita Sebagai Pemimpin”: ”Para ulama sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim. Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah). Wanita itu lemah, tidak mampu menyelesaikan setiap urusan karena mereka kurang (akal dan agamanya). Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab yang begitu urgen (penting). Oleh karena itu yang menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum pria-lah yang pantas menyelesaikannya.”
Alasan Kedua: Wanita kurang akal dan agama
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ‏‎ ‎عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ‏‎ ‎الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ‏‎ ‎إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
Apa yang dimaksud dengan kurang akal dan agamanya?
Ada yang menanyakan kepada Syaikh ’Abdul Aziz bin ’Abdillah bin Baz: Saya seringkali mendengar hadits ”wanita itu kurang akal dan agamanya.” Dari hadits ini sebagian pria akhirnya menganiaya para wanita. Oleh karena itu –wahai Syaikh- kami memintamu untuk menerangkan makna hadits ini.
Adapun makna hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب للب‎ ‎الرجل الحازم من إحداكن فقيل يا رسولا‎ ‎لله ما نقصان عقلها ؟ قال أليست‎ ‎شهادة المرأتين بشهادة رجل ؟ قيل يا‎ ‎رسول الله ما نقصان دينها ؟ قالأ‎ ‎ليست إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” Lalu ada yang menanyakan kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang akalnya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah persaksian dua wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kurang akalnya adalah dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tidak bisa sendirian, harus bersama wanita lainnya. Inilah kekurangannya, seringkali wanita itu lupa. Akhirnya dia pun sering menambah-nambah dan mengurang-ngurangi dalam persaksiannya. Oleh karena itu, Allah Ta ’ala berfirman,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ‏‎ ‎رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا‎ ‎رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ‏‎ ‎وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ‏‎ ‎مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ‏‎ ‎إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ‏‎ ‎إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Yang dimaksud dengan kurangnya agama adalah ketika wanita tersebut dalam kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya. Inilah yang dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292)
Alasan Ketiga: Wanita ketika shalat berjama’ah menduduki shaf paling belakang
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ‏bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ‏‎ ‎أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا‎ ‎وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ‏‎ ‎آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan.” (HR. Muslim no. 440)
Alasan Keempat: Wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan wali
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101 dan Ibnu Majah no. 1880. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Alasan Kelima: Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ‏‎ ‎خَيْرًا ، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ‏‎ ‎مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْوَجَ‏‎ ‎شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ،‏‎ ‎فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ‏‎ ‎كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ‏‎ ‎يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا‎ ‎بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Bersikaplah yang baik terhadap wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik terhadap wanita.” (HR. Bukhari no. 5184)
Alasan Keenam: Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui
Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ‏‎ ‎الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ‏‎ ‎ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ‏‎ ‎ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي‎ ‎لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ‏‎ ‎الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ‏‎ ‎يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ‏‎ ‎يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ‏‎ ‎أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4)
Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?
Alasan Ketujuh: Wanita mudah putus asa dan tidak sabar
Kita telah menyaksikan pada saat kematian dan datangnya musibah, seringnya para wanita melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui batas seperti menampar pipi, memecah barang-barang, dan membanting badan. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.
Di Mana Kepemimpinan Wanita?
Wanita hanya diperbolehkan menjadi pemimpin di rumahnya, itu pun di bawah pengawasan suaminya, atau orang yang sederajat dengannya. Mereka memimpin dalam hal yang khusus yaitu terutama memelihara diri, mendidik anak dan memelihara harta suami yang ada di rumah. Tujuan dari ini semua adalah agar kebutuhan perbaikan keluarga teratasi oleh wanita sedangkan perbaikan masyarakat nantinya dilakukan oleh kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا‎ ‎تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ‏‎ ‎الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى‎ ‎وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ‏‎ ‎الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ‏‎ ‎وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ‏‎ ‎اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ‏‎ ‎الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ‏‎ ‎وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا‎ ‎رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ‏‎ ‎رَعِيَّتِهَا
“Dan wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.” (HR. Bukhari no. 2409)
Kita hendaknya menerima ketentuan Allah yang Maha Bijaksana ini. Bukanlah Allah membendung hak asasi manusia, tetapi Dialah yang mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan kebahagiaannya masing-masing.
Masih Ngotot Adanya Persamaan Gender?
Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, “Masing-masing wajib mengimani dan menerima bahwa harus ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik dari segi lahir dan batin, menurut tinjauan syari’at Islam. Masing-masing harus ridho dengan taqdir Allah dan syari’at Islam.
Perbedaan ini adalah semata-mata menuju keadilan, dengan perbedaan ini kehidupan bermasyarakat menjadi teratur. Tidak boleh masing-masing berharap memiliki kekhususan yang lain, sebab akan mengundang kemarahan Allah, karena masing-masing tidak menerima ketentuan Allah dan tidak ridho dengan hukum dan syari’at-Nya. Seorang hamba hendaknya memohon karunia kepada Rabbnya. Inilah adab syari’at Islam untuk menghilangkan kedengkian dan agar orang mukmin ridha dengan pemberian Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam surat An Nisaa’ ayat 32 yang maksudnya adalah kita dilarang iri dengan kedudukan orang lain.
Selanjutnya, jika hanya berharap ingin meraih sifat lain jenis dilarang di dalam Al Qur’an, maka bagaimana apabila mengingkari syari’at Islam yang membedakan antara laki-laki dan wanita, menyeru manusia untuk menghapusnya, dan menuntut supaya ada kesamaan antara laki-laki dan wanita, yang sering disebut dengan istilah emansipasi wanita. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah teori sekuler, karena menentang taqdir Allah ….” (Hirosatul Fadhilah)
Sadarlah!
Inilah ketentuan di dalam Islam. Tentunya bila dilaksanakan, kebaikan dan kejayaan akan diraih kaum muslimin sebagaimana yang pernah dialami para Rasul, para sahabatnya, dan generasi sesudahnya. Tetapi jika peraturan ini dilanggar, jangan berharap perdamaian di dunia apalagi kenikmatan di akhirat. Tetapi lihatlah perzinaan dan fitnah wanita serta kehancuran aqidah, ibadah, akhlaq, dan ekonomi yang ini tidak bisa kita tutupi lagi, belum lagi besok di alam kubur, belum lagi di alam akhirat.
Ya Allah, tunjukilah kami (dengan izin-Mu) pada kebenaran dari apa-apa yang kami perselisihkan di dalamnya. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shalallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.

BacaSelengkapnya...

Rabu, 22 Desember 2010

Tak Mengeluh

Mengeluh, yah itulah ungkapan yang sering kita tuangkan saat musibah atau bencana menimpa diri kita. Tanpa kita sadari kita sering kali berkeluh kesah. Bahkan kita sering kali menyalahkan Tuhan. Mengapa Allah begitu tidak adil kepada kita, mengapa Allah memberikan ujian ini bertubi-tubi, musibah demi musibah silih berganti rasanya tidak pernah berhenti. Yah, itulah kita manusia yang selalu tidak pernah mensyukuri segala nikmatnya dan tidak pernah ingin mengambil pelajaran dari setiap ujian. Seandainya saja manusia mau berfikir bahwa begitu banyak hikmah dari setiap kejadian yang menimpa diri kita niscaya bertambahlah rasa syukur dan nikmat itu.



Tapi sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia tidak akan pernah sanggup menghitung dan menjumlah nikmat yang Allah berikan. Al-Qur’an sendirilah yang menetapkannya. Wa in ta’uddu ni’matallahi la tuhshuha, dan jika kalian berusaha menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan pernah sanggup menghitungnya. Yah, kita memang tidak akan pernah sanggup untuk menghitungnya karena terlalu banyak nikmat yang telah Allah berikan. Lalu mengapa kita masih berkeluh kesah, di jalan ini seharusnya tidak ada celah untuk mengeluh. Sebab di jalan kehidupan yang fana ini kita sesungguhnya hanya berpindah dari satu nikmat ke nikmat yang lain. Mungkin suatu waktu ada musibah yang singgah dalam hidup ini, tapi musibah itu toh tetap menyisakan nikmat.
Seperti yang pernah diungkapkan Syuraih al-Qadhy pada suatu ketika, “Sungguh ketika sebuah musibah menimpaku, aku selalu memuji Allah sebanyak empat kali:

Pertama, aku memuji-Nya karena musibah yang hadir tidaklah lebih besar dari itu. Kedua, aku memuji-Nya karena Ia telah menganugrahkan kesabaran padaku untuk menghadapinya. Ketiga, aku memuji-Nya karena Ia telah memberiku taufiq untuk mengembalikan semuanya pada-Nya dengan harapan pahala dari-Nya. Keempat, aku memuji-Nya karena musibah itu tidak menimpa dan mengahancurkan agamaku”Demikianlah katanya. Lalu apa yang kita katakan saat musibah menimpa kita?? Masihkah kita bersikap keluh kesah dan manyalahkan-Nya??

Suatu ketika seorang pria dating menemui Yunus ibn Ubaid. Ia mengeluh di depannya.

“Hidupku susah sekali…,” ujarnya. “Entah aku harus berbuat apa. Hidupku benar-banar susah. Dunia ini begitu sempit untukku. Ah, aku tak tahu harus berbuat apa…Duhai, mengapa ini semua terjadi padaku…,” begitulah ia seperti tidak akan berhenti menyampaikan semua keluhnya.

Yunus ibn Ubaid menarik nafas. Sangat dalam.
“Maafkan aku, saudaraku… Bolehkah aku bertanya padamu??” ujarnya. “Silahkan, Tuan…”
“Bagaimana jika kedua matamu itu diganti dengan 1000 dinar? Maukah engkau??” Tanya Yunus ibn Ubaid.
“Apa?? Tidak mungkin, Tuan. Bagaimana mungkin aku mengganti kedua mataku hanya dengan seribu dinar??!”
“Bagaimana dengan kedua telingamu??”. “Ah, mustahil Tuan. Bagaimana aku akan mendengar nanti??”. “Kalau begitu, lidahmu sajalah…”
“Tidak, Tuan. Apakah Anda ingin saya jadi bisu hanya karena 1000 dinar??!”

Begitulah Yunus ibn Ubaid terus mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Hingga akhirnya, Yunus ibn Ubaid mengatakan, “Lihatlah, saudaraku. Kulihat betapa banyaknya nikmat Allah padamu. Lalu mengapa engkau harus mengeluh hingga seolah-olah tidak ada lagi harapan untuk hidup??”
Pria itu tersipu. Lalu pamit meninggalkan Yunus ibn Ubaid.

Jadi selalulah meyakini bahwa setiap musibah sesungguhnya adalah sebuah anak tangga menuju kemuliaan di sisi Allah. Untuk sampai ke sana, tentu kita harus melewati anak tangga itu satu persatu. Apa yang dibutuhkan saat penitian itu? Kesabaran dan keyakinan. Zuhair ibn Nu’aim mengatakan, “Kemuliaan itu tak akan teraih kecuali dengan 2 hal: kesabaran dan keyakinan. Jika engkau hanya memiliki keyakinan tapi tanpa kesabaran, maka kemuliaan itu takkan pernah sempurna. Begitu pula jika engkau hanya menyimpan kesabaran tanpa keyakinan, itupun takkan menyempurnakan kemuliaan itu.”

Sahabat Abu al-Ad Darda’juga punya tamtsil yang cantik tentang itu. “Perumpamaan keyakinan dan kesabaran itu ibarat 2 orang petani yang menggali tanah. Jika salah satu dari mereka berhenti dan duduk, maka yang lain pun akan berhenti dan duduk beristirahat.”

Hmm, hingga di sini, menurut Anda, bila detik ini sebuah musibah hinggap dalam kehidupan Anda, apakah yang akan Anda lakukan? Inilah pilihan terbaiknya; hadapi dengan kesabaran dan yakinlah bahwa akan ada banyak hikmah dan karunia yang disembunyikan Allah di baliknya

BacaSelengkapnya...

Minggu, 21 November 2010

Malu

Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Secara kodrat, kaum wanita sangat beruntung, dianugrahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.


Malu adalah Iman
Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)
Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR: Bukhari)
Malu, Kunci Segala Kebaikan
Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.
Abu Hatim berkata: “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”
Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:
“Bila cahaya wajah berkurang,
maka berkurang pula rasa malunya
Tidak ada keindahan pada wajah,
Bila cahayanya berkurang
Rasa malumu peliharalah selalu,
Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang,
Adalah rasa malunya.”


Bukannya Tidak Pede
Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau karena manusia. Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’I, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang Pria Muslim atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Alloh-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah kepada Allah-lah yang paling berhak kita malu? Al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan Alloh tidak malu (menerangkan) yang benar” (QS: Al-Ahzab: 53)”.
Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan: Saya tidak tahu”.Imam Bukhari rahimahulloh berkata: “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)
Harus Ditumbuhkan
Pengunjung Media Muslim INFO yang tercinta… sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah kita, jika kita terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati kita telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, yang artinya: “Pada dirimu ada dua sifat yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab; “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR: Ibnu Abi ‘Ashim).
Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatulloh, dan pendekatan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.
BacaSelengkapnya...

Sabtu, 20 November 2010

7 HAL YANG MENGHARAMKAN WANITA JADI PEMIMPIN

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa syariat tidak memperbolehkan wanita menjadi pemimpin:


Alasan Pertama: Pemimpin wanita pasti merugikan
Abu Bakrah berkata,
لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ –‏‎ ‎صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ‏‎ ‎فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ‏‎ ‎بِنْتَ كِسْرَى قَالَ » لَنْ‏‎ ‎يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا‎ ‎أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ” Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”.” (HR. Bukhari no. 4425)
Dari hadits ini, para ulama bersepakat bahwa syarat al imam al a’zhom (kepala negara atau presiden) haruslah laki-laki. (Lihat Adhwa ’ul Bayan, 3/34, Asy Syamilah)
Al Baghowiy mengatakan dalam Syarhus Sunnah (10/77) pada Bab ”Terlarangnya Wanita Sebagai Pemimpin”: ”Para ulama sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim. Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah). Wanita itu lemah, tidak mampu menyelesaikan setiap urusan karena mereka kurang (akal dan agamanya). Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab yang begitu urgen (penting). Oleh karena itu yang menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum pria-lah yang pantas menyelesaikannya.”
Alasan Kedua: Wanita kurang akal dan agama
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ‏‎ ‎عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ‏‎ ‎الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ‏‎ ‎إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
Apa yang dimaksud dengan kurang akal dan agamanya?
Ada yang menanyakan kepada Syaikh ’Abdul Aziz bin ’Abdillah bin Baz: Saya seringkali mendengar hadits ”wanita itu kurang akal dan agamanya.” Dari hadits ini sebagian pria akhirnya menganiaya para wanita. Oleh karena itu –wahai Syaikh- kami memintamu untuk menerangkan makna hadits ini.
Adapun makna hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب للب‎ ‎الرجل الحازم من إحداكن فقيل يا رسولا‎ ‎لله ما نقصان عقلها ؟ قال أليست‎ ‎شهادة المرأتين بشهادة رجل ؟ قيل يا‎ ‎رسول الله ما نقصان دينها ؟ قالأ‎ ‎ليست إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” Lalu ada yang menanyakan kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang akalnya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah persaksian dua wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kurang akalnya adalah dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tidak bisa sendirian, harus bersama wanita lainnya. Inilah kekurangannya, seringkali wanita itu lupa. Akhirnya dia pun sering menambah-nambah dan mengurang-ngurangi dalam persaksiannya. Oleh karena itu, Allah Ta ’ala berfirman,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ‏‎ ‎رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا‎ ‎رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ‏‎ ‎وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ‏‎ ‎مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ‏‎ ‎إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ‏‎ ‎إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Yang dimaksud dengan kurangnya agama adalah ketika wanita tersebut dalam kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya. Inilah yang dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292)
Alasan Ketiga: Wanita ketika shalat berjama’ah menduduki shaf paling belakang
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ‏bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ‏‎ ‎أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا‎ ‎وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ‏‎ ‎آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan.” (HR. Muslim no. 440)
Alasan Keempat: Wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan wali
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101 dan Ibnu Majah no. 1880. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Alasan Kelima: Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ‏‎ ‎خَيْرًا ، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ‏‎ ‎مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْوَجَ‏‎ ‎شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ،‏‎ ‎فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ‏‎ ‎كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ‏‎ ‎يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا‎ ‎بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Bersikaplah yang baik terhadap wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik terhadap wanita.” (HR. Bukhari no. 5184)
Alasan Keenam: Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui
Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ‏‎ ‎الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ‏‎ ‎ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ‏‎ ‎ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي‎ ‎لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ‏‎ ‎الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ‏‎ ‎يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ‏‎ ‎يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ‏‎ ‎أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4)
Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?
Alasan Ketujuh: Wanita mudah putus asa dan tidak sabar
Kita telah menyaksikan pada saat kematian dan datangnya musibah, seringnya para wanita melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui batas seperti menampar pipi, memecah barang-barang, dan membanting badan. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.
Di Mana Kepemimpinan Wanita?
Wanita hanya diperbolehkan menjadi pemimpin di rumahnya, itu pun di bawah pengawasan suaminya, atau orang yang sederajat dengannya. Mereka memimpin dalam hal yang khusus yaitu terutama memelihara diri, mendidik anak dan memelihara harta suami yang ada di rumah. Tujuan dari ini semua adalah agar kebutuhan perbaikan keluarga teratasi oleh wanita sedangkan perbaikan masyarakat nantinya dilakukan oleh kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا‎ ‎تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ‏‎ ‎الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى‎ ‎وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ‏‎ ‎الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ‏‎ ‎وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ‏‎ ‎اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ‏‎ ‎الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ‏‎ ‎وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا‎ ‎رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ‏‎ ‎رَعِيَّتِهَا
“Dan wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.” (HR. Bukhari no. 2409)
Kita hendaknya menerima ketentuan Allah yang Maha Bijaksana ini. Bukanlah Allah membendung hak asasi manusia, tetapi Dialah yang mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan kebahagiaannya masing-masing.
Masih Ngotot Adanya Persamaan Gender?
Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, “Masing-masing wajib mengimani dan menerima bahwa harus ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik dari segi lahir dan batin, menurut tinjauan syari’at Islam. Masing-masing harus ridho dengan taqdir Allah dan syari’at Islam.
Perbedaan ini adalah semata-mata menuju keadilan, dengan perbedaan ini kehidupan bermasyarakat menjadi teratur. Tidak boleh masing-masing berharap memiliki kekhususan yang lain, sebab akan mengundang kemarahan Allah, karena masing-masing tidak menerima ketentuan Allah dan tidak ridho dengan hukum dan syari’at-Nya. Seorang hamba hendaknya memohon karunia kepada Rabbnya. Inilah adab syari’at Islam untuk menghilangkan kedengkian dan agar orang mukmin ridha dengan pemberian Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam surat An Nisaa’ ayat 32 yang maksudnya adalah kita dilarang iri dengan kedudukan orang lain.
Selanjutnya, jika hanya berharap ingin meraih sifat lain jenis dilarang di dalam Al Qur’an, maka bagaimana apabila mengingkari syari’at Islam yang membedakan antara laki-laki dan wanita, menyeru manusia untuk menghapusnya, dan menuntut supaya ada kesamaan antara laki-laki dan wanita, yang sering disebut dengan istilah emansipasi wanita. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah teori sekuler, karena menentang taqdir Allah ….” (Hirosatul Fadhilah)
Sadarlah!
Inilah ketentuan di dalam Islam. Tentunya bila dilaksanakan, kebaikan dan kejayaan akan diraih kaum muslimin sebagaimana yang pernah dialami para Rasul, para sahabatnya, dan generasi sesudahnya. Tetapi jika peraturan ini dilanggar, jangan berharap perdamaian di dunia apalagi kenikmatan di akhirat. Tetapi lihatlah perzinaan dan fitnah wanita serta kehancuran aqidah, ibadah, akhlaq, dan ekonomi yang ini tidak bisa kita tutupi lagi, belum lagi besok di alam kubur, belum lagi di alam akhirat.
Ya Allah, tunjukilah kami (dengan izin-Mu) pada kebenaran dari apa-apa yang kami perselisihkan di dalamnya. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shalallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.
BacaSelengkapnya...

Rabu, 06 Oktober 2010

Pinta Ku

Ingin ku gapaI,
Namun ku t'hentI,
Ingin ku b'larI,
Namun ku t'tatI,


Kau yg di pujI,
Tak mengertI,
Kemauan isi HtI,
Tuk mencintaI,

T'imalah pinta kU,
B'layar mengarungi hiduP,
Tetap b'sama mU,
B'juang mengapus gelaP,

Warnai hri dgn kasiH,
Sayang mu yg putiH,
Wujud kn hti yg b'siH,
Syujud hanya pd AllaH.
BacaSelengkapnya...

Rabu, 01 September 2010

Melihat

Bila ada perbuatan sebesar biji sawi
yang tersembunyi di dalam batu,
atau tersembunyi di dalam bumi,
atau tersembunyi di atas langit,


dalam selimut kegelapan malam
dan kabut hitam kelam
Allah pasti mengetahuinya
dan akan membalasnya
Karena Allah Maha Halus
karena Allah Maha Mengetahui
tak seorangpun dapat sembunyi
dan sia-sia saja coba menghindari..
Puasa melatih kesadaran diri
akan penglihatan-Nya yang tak tertabiri
akan pengetahuan-Nya yang tak tertandingi
Disiplinkan diri jalani puasa
menahan diri atas semua hal yang membatalkannya
walau tak seorangpun melihat kita
BacaSelengkapnya...

Selasa, 31 Agustus 2010

Siti Masyitoh

“Apa, di dalam kerajaanku sendiri ada pengikut Musa?” Teriak Fir’aun dengan amarah yang membara setelah mendengar cerita putrinya perihal keimanan Siti Masyitoh. Hal ini bermula ketika suatu hari Siti Masyitoh sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisir itu terjatuh, seketika Siti Masyitoh mengucap Astagfirullah. Sehingga terbongkarlah keimanan Siti Masyitoh yang selama ini disembunyikannya.


“Baru saja aku menerima laporan dari Hamman, mentriku, bahwa pengikut Musa terus bertambah setiap hari. Kini pelayanku sendiri ada yang berani memeluk agama yang dibawa Musa. Kurang ajar si Masyitoh itu,” umpat Fir’aun.
“Panggil Masyitoh kemari,” perintah Fir’aun pada pengawalnya. Masyitoh datang menghadap Fir’aun dengan tenang. Tidak ada secuil pun perasaan takut di hatinya. Ia yakin Allah senantiasa menyertainya.
“Masyitoh, apakah benar kamu telah memeluk agama yang dibawa Musa?”. Tanya Fir’aun pada Masyitoh dengan amarah yang semakin meledak.
“Benar,” jawab Masyitoh mantap.
“Kamu tahu akibatnya? Kamu sekeluarga akan saya bunuh,” bentak Fir’aun, telunjuknya mengarah pada Siti Masyitoh.
“Saya memutuskan untuk memeluk agama Allah, maka saya telah siap pula menanggung segala akibatnya.”
“Masyitoh, apa kamu sudah gila! Kamu tidak sayang dengan nyawamu, suamimu, dan anak-anakmu.”
“Lebih baik mati daripada hidup dalam kemusyrikan.”
Melihat sikap Masyitoh yang tetap teguh memegang keimanannya, Fir’aun memerintahkan kepada para pengawalnya agar menghadapkan semua keluarga Masyitoh kepadanya.
“Siapkan sebuah belanga besar, isi dengan air, dan masak hingga mendidih,” perintah Fir’aun lagi.
Ketika semua keluarga Siti Masyitoh telah berkumpul, Fir’aun memulai pengadilannya.
“Masyitoh, kamu lihat belanga besar di depanmu itu. Kamu dan keluargamu akan saya rebus. Saya berikan kesempatan sekali lagi, tinggalkan agama yang dibawa Musa dan kembalilah untuk menyembahku. Kalaulah kamu tidak sayang dengan nyawamu, paling tidak fikirkanlah keselamatan bayimu itu. Apakah kamu tidak kasihan padanya.”
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fir’aun, Siti Masyitoh sempat bimbang. Tidak ada yang dikhawatirkannya dengan dirinya, suami, dan anak-anaknya yang lain, selain anak bungsunya yang masih bayi. Naluri keibuannnya muncul. Ditatapnya bayi mungil dalam gendongannya. “Yakinlah Masyitoh, Allah pasti menyertaimu.” Sisi batinnya yang lain mengucap.
Ketika itu, terjadilah suatu keajaiban. Bayi yang masih menyusu itu berbicara kepada ibunya, “Ibu, janganlah engkau bimbang. Yakinlah dengan janji Allah.” Melihat bayinya dapat berkata-kata dengan fasih, menjadi teguhlah iman Siti Masyitoh. Ia yakin hal ini merupakan tanda bahwa Allah tidak meninggalkannya.
Allah pun membuktikan janji-Nya pada hamba-hamba-Nya yang memegang teguh (istiqamah) keimanannya. Ketika Siti Masyitoh dan keluarganya dilemparkan satu persatu pada belanga itu, Allah telah terlebih dahulu mencabut nyawa mereka, sehingga tidak merasakan panasnya air dalam belanga itu.
Demikianlah kisah seorang wanita shalihah bernama Siti Masyitoh, yang tetap teguh memegang keimanannya walaupun dihadapkan pada bahaya yang akan merenggut nyawanya dan keluarganya.
Ketika Nabi Muhammad Saw. isra dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, beliau mencium aroma wangi yang berasal dari sebuah kuburan. “Kuburan siapa itu, Jibril?” tanya baginda Nabi.
“Itu adalah kuburan seorang wanita shalihah yang bernama Siti Masyitoh,” jawab Jibril.

BacaSelengkapnya...